How to Get Away With Murder: Minuman Topping Arsenik Spesial Untuk Cak Munir

Kertas Putih Kastrat
9 min readAug 13, 2022

--

Penulis: Clarabelle Aurelia

Arsenik, The Poison of Kings

Dari kisah kematian Claudius hingga Munir, peracunan merupakan salah satu metode pembunuhan paling efisien yang dikenal umat manusia. Racun-meracun mulai dilakukan sejak awal peradaban dan kian populer di zaman Roma Kuno. Julia Agrippina (Agrippina the Younger) adalah Permaisuri Roma yang berperan penting dalam masa Dinasti Julius-Claudius. Ia dikenal sebagai sosok yang kejam, ambisius, sangat mendominasi, dan tidak segan-segan untuk menghabisi siapapun yang menghalangi rencananya. Perannya sebagai wanita pada masa itu dalam politik bahkan dapat disetarakan dengan laki-laki. Ia membunuh suami keduanya, Passienus dan istri pertama Kaisar Claudius, Valeria, sehingga dapat menikahi Sang Kaisar yang sekaligus pamannya. Dengan rencananya ini, ia bisa mendapatkan kekuasaan politik dan mengangkat anaknya, Nero, menjadi penerus Kaisar selanjutnya. Setelah rencana tersebut berhasil, ia meracuni Britannicus, anak Claudius yang merupakan pewaris takhta pertama lalu membujuk Sang Kaisar untuk mengangkat Nero menjadi Kaisar selanjutnya. Claudius, yang tak tahu akan rencana Agrippina pun setuju dan tanpa sadar membantu Agrippina menghabisi dirinya sendiri. Rencana Agrippina diakhiri dengan tamatnya riwayat Claudius, sedangkan Nero pun naik takhta pada usia yang sangat muda, yakni 16 tahun. (1–3)

Gambar: Agrippina dan Anaknya, Nero (3)

Racun yang digunakan oleh Agrippina kala itu adalah arsenit trioksida, salah satu bentuk arsenik. Arsenik adalah salah satu racun yang populer digunakan sejak zaman kekaisaran Roma untuk membunuh rival yang turut memperebutkan takhta kekuasaan. Maka dari itu, arsenik dikenal sebagai the poison of kings. Sifat arsenik yang tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa, dan sulit meninggalkan jejak, memudahkan sang dalang pembunuhan untuk melancarkan aksinya. (1)

Mengenal Arsenik

Gambar 1. Arsenik (4)

Arsenik adalah senyawa kimia golongan metaloid yang tersebar secara luas di alam. Berdasarkan etimologi, arsenik berasal dari bahasa Yunani arsenikon yang secara harfiah berarti ampuh, manjur. Arsenik yang umum ditemukan dapat dikategorikan menjadi tiga bentuk, yaitu garam organik, garam anorganik, dan gas (arsine). Perbedaan bentuk ini akan berpengaruh terhadap potensi toksik arsenik. Wujud gas arsine merupakan bentuk arsenik yang paling berbahaya karena dapat secara mudah masuk ke dalam tubuh, disusul dengan bentuk garam anorganik, dan yang terakhir bentuk garam organik. Bentuk garam anorganik lebih beracun jika dibandingkan dengan bentuk organiknya karena lebih mudah larut dalam air. Bentuk arsenik anorganik dapat dibagi lagi menjadi dua berdasarkan valensi (muatan senyawa), yaitu arsenit (valensi 3) dan arsenat (valensi 5). (5,6)

Mekanisme toksisitas arsenik pada tubuh bergantung pada valensinya. Metabolisme arsenik akan mengakibatkan terinaktivasinya sekitar 200 enzim yang berperan dalam pembentukan energi dan sintesis serta perbaikan DNA (deoxyribonucleic acid). Dalam tahap glikolisis, arsenat mampu menggantikan senyawa fosfat, kemudian akan menghambat kerja enzim heksokinase yang dibutuhkan untuk memecah glukosa pertama kali. Akibatnya, akan terjadi penurunan terbentuknya ATP (adenosine triphosphate) yang digunakan sebagai sumber energi seluler. Sedangkan, arsenit, arsenik dengan valensi lain, akan berikatan dengan gugus tiol dan sulfhidril yang berfungsi sebagai komponen utama protein dan enzim dalam tubuh. Alhasil, akan terjadi disregulasi kerja protein serta enzim yang berfungsi dalam metabolisme seluler sehingga ATP yang dihasilkan akan berkurang pula. Ditambah lagi, arsenik juga menghasilkan radikal bebas seperti reactive oxygen species dan reactive nitrogen species yang dapat memicu stres oksidatif, inflamasi, hingga kematian sel (apoptosis). Jika terjadi paparan secara terus menerus, arsenik dapat menyebabkan penyakit jantung, diabetes, kerusakan saraf, kerusakan hati, kanker, dan bahkan kematian. (5,7–9,11)

Secara klinis, keracunan arsenik dapat ditandai dengan beberapa gejala. Jika terjadi paparan akut, gejala yang paling umum muncul adalah muntah, nyeri perut, diare seperti susu yang disertai darah. Sementara itu, jika terjadi paparan kronis, manifestasi klinis biasanya sudah mencakup seluruh sistem tubuh, seperti ditemukannya arsenik dalam jumlah besar dalam hati, ginjal, paru dan jantung, serta dalam jumlah yang lebih kecil pada sistem saraf, saluran pencernaan, dan limpa. Arsenik juga umum ditemukan pada bagian tubuh yang mengandung banyak keratin, seperti rambut, kulit, dan kuku. Selain itu, gejala yang dapat dilihat secara langsung adalah munculnya garis putih pada kuku, hiperpigmentasi kulit, dan hiperkeratosis (penebalan kulit). (7,11)

Arsenik: Kawan atau Lawan?

Sola dosis facit venenum. Segala sesuatunya adalah racun, tidak ada yang tanpa racun, hanya dosislah yang membedakan antara racun dengan yang bukan. Begitulah ucapan Paracelsus, sang Bapak Toksikologi. Dalam dosis tertentu, ternyata arsenik berpotensi menjadi alternatif terapeutik. Tahun 1786, Thomas Fowler mengenalkan “Fowler’s solution” yang berisi kalium arsenit sebagai obat untuk mengobati berbagai jenis penyakit, seperti malaria, sifilis, asma, kolera, eksema, dan psoriasis. Tak lama setelah leukemia ditemukan pada tahun 1845, “Fowler’s solution” kembali digunakan karena efeknya yang menurunkan kadar sel darah putih. Namun, sayangnya karena menimbulkan efek karsinogenik jangka panjang, akhirnya ramuan tersebut terpaksa ditarik. (1,12,13)

Hingga sekitar tahun 1970, peneliti menemukan bahwa arsenik dalam bentuk arsenit trioksida efektif untuk pengobatan leukemia promielositik akut. Biasanya, pengobatan standar untuk pasien leukemia promielositik akut adalah kemoterapi berbasis antrasiklin dan all-trans asam retinoat (ATRA). Namun, sekitar 20%–30% pasien kembali kambuh. Dengan penambahan arsenit trioksida, pasien mengalami perbaikan secara lebih efektif dengan efek samping yang lebih ringan dibandingkan terapi biasa dan bersifat self-limiting sehingga tidak dibutuhkan intervensi. Contohnya, pasien tidak mengalami kerontokan rambut, bahkan mielosupresi (penurunan komponen sel darah lain seperti hemoglobin, leukosit, trombosit dan neutrofil). Selain itu, arsenit trioksida juga tidak menimbulkan resistensi terhadap ATRA ataupun agen antikanker lainnya. (12,14,15)

Terlepas dari potensi manfaat yang ada, tampaknya arsenik lebih populer digunakan untuk meregangkan nyawa. Salah satunya adalah untuk meregangkan nyawa seorang aktivis HAM Indonesia, Munir Said Thalib. Ia tewas 2 jam sebelum tiba di Bandara Schipol, Amsterdam akibat racun arsenik yang dipercaya dicampurkan ke dalam minumannya. Pada pemeriksaan forensik, ditemukan 3,1 miligram per liter arsenik dalam darah dan 465 miligram dalam lambungnya yang masih belum dicerna. (17)

Menghitung Menit-Menit Kematian Munir

Gambar 3. Munir Said Thalib, Aktivis HAM Indonesia (16)

Hampir 18 tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 7 September 2004, Munir hendak pergi ke Belanda untuk melanjutkan studi S2. Selepas mendirikan KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), menjadi Direktur Imparsial, dan turut serta menangani berbagai kasus pelanggaran HAM di Indonesia, sudah merupakan waktu yang tepat baginya untuk kembali menuntut ilmu. Ia berangkat menggunakan pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA 974 pukul 21.30 WIB. Di dekat pintu masuk Kelas Bisnis, ia bertemu dengan Pollycarpus Budihari Priyanto, seorang pilot Airbus 330 Garuda Indonesia yang hadir sebagai extra crew, dan berbincang sejenak. Munir yang seharusnya duduk di kursi 40G Ekonomi akhirnya menempati kursi 3K Kelas Bisnis milik Pollycarpus. Kemudian, Munir memesan mi goreng dan jus jeruk. Sekitar 1 jam 38 menit kemudian, pesawat mendarat di Singapura pukul 00.40 waktu setempat. Sebelum melanjutkan perjalanan ke Amsterdam, penumpang diberikan waktu 45 menit oleh awak kabin untuk jalan-jalan di Bandara Changi. Munir mampir ke Coffee Bean dan beberapa saksi mata melihatnya di sana bersama Pollycarpus. Pollycarpus nampak membawa dua cangkir minuman di kedai kopi tersebut. Tak lama, Munir kembali ke pesawat dan duduk di kursi mulanya, sementara Pollycarpus hanya sampai di Singapura. Sebelum lepas landas pukul 01.53, Munir sempat meminta obat maag kepada awak kabin. Sekitar 15 menit kemudian, Munir mulai sering ke toilet karena merasa muntaber. Tiga jam kemudian, seorang pramugara senior melapor kepada pilot bahwa seorang penumpang bernama Munir sakit setelah beberapa kali ke toilet. Munir akhirnya sempat mendapat pertolongan dari seorang dokter yang duduk di kursi 1J dan kemudian dipindahkan ke samping bangku dokter itu. Keadaannya pada saat itu masih tenang, tetapi takdir berkata lain. Sekitar 05.10 GMT di atas langit Rumania, Munir didapatkan sudah meninggal dalam posisi miring menghadap kursi, dengan mulut mengeluarkan air liur tak berbusa, telapak tangannya biru, dan tubuhnya dingin. (17)

Banyak sekali kejanggalan yang ditemukan dalam kasus ini. Pertama, tim polisi yang segera berangkat ke Belanda menyimpulkan bahwa arsenik dicampurkan ke dalam jus jeruk yang diminta Munir dalam pesawat. Padahal, jika dimasukkan ke dalam air dingin, arsenik akan mengendap. Skenario yang paling mungkin adalah dicampurkannya arsenik ke dalam air panas agar tidak meninggalkan jejak, dalam kasus ini kemungkinan besar dalam minuman yang dipesan Munir di Coffee Bean Bandara Changi. Kemudian, pertemuan pertama Tim Pencari Fakta yang dibentuk oleh Presiden SBY justru dipimpin oleh Wakil Direktur Tindak Pidana Korupsi Polri yang tidak ada sangkut paut ataupun keahlian dalam kasus pembunuhan. Selanjutnya, soal surat penugasan Pollycarpus. Pihak maskapai menyampaikan bahwa penugasan Pollycarpus kala itu adalah untuk mencari tahu tentang Boeing 747 rute Singapura-Amsterdam yang mengalami permasalahan pada roda pendarat. Pertanyaannya, mengapa justru pilot Airbus 330 yang dikirim, bukan pilot Boeing 747 atau bahkan mekanik yang lebih paham perkara ini? Lalu, mengapa Pollycarpus hanya mampir 4–5 jam pada malam hari di Singapura dan langsung terbang kembali ke Jakarta? (17)

Akhirnya pada tanggal 1 Desember 2005, Pollycarpus dituntut hukuman penjara seumur hidup. Ia mengajukan kasasi dan pada tahun 2006, Mahkamah Agung memutuskan vonis penjara Pollycarpus hanya menjadi 2 tahun penjara karena menganggap ia tidak terbukti melakukan pembunuhan, hanya bersalah penggunaan surat palsu untuk pergi ke Singapura. Tak puas, Kejaksaan Agung melayangkan Peninjauan Kembali atas vonis tersebut. Akhirnya, Pollycarpus dijatuhkan hukuman 14 tahun penjara, walaupun akhirnya bebas menghirup udara segar setelah 8 tahun dibui dengan pembebasan bersyarat.

Untuk alasan apa Munir dihabisi? Banyak spekulasi yang terbentuk demi memecahkan teka-teki pembunuhan Munir. Terutama, banyak dugaan bahwa Munir dibunuh karena memegang bukti-bukti penting terkait pelanggaran HAM di Indonesia, seperti Peristiwa Talangsari 1989, penculikan aktivis 1998, hingga–dugaan paling kuat–kampanye hitam Pemilihan Presiden 2004 putaran pertama. Kemudian, mengapa Garuda Indonesia bisa ikut terlibat dalam pembunuhan ini dan siapa pula yang sesungguhnya menugaskan Pollycarpus? Hingga kini, betapa menyedihkan melihat negara tidak juga berhasil mengungkap kebenaran di balik pembunuhan Munir.

Ironi Hidup di Negeri Ini

Dalam buku Indonesia X-Files, dr. Abdul Mun’im Idries, Sp.F menceritakan bahwa Kabareskrim Mabes Polri pada masa itu berkata kepadanya, “Kalau kita tidak bisa masukkan seseorang ke dalam tahanan sebagai pelaku, dana dari luar negeri tidak cair. Karena dia tokoh HAM. Kemudian obligasi (surat-surat berharga) kita tidak laku, Dok”. Ketika membaca ini, saya cukup tergelitik. Eksekusi pencarian dalang pembunuhan Munir dilakukan atas dasar ketakutan tersendatnya finansial negara, bukan atas kesadaran bahwa hak asasi manusia telah direnggut. Andaikan yang mati bukan seorang aktivis HAM, akan ditelantarkan begitu sajakah? Jika kematiannya tidak disorot media luar negeri, akankah negara ini bungkam? Sebegitu tidak berhargakah nyawa seorang manusia di mata negara yang katanya negara hukum?

Pada tanggal 7 September 2022 nanti, tepat 18 tahun setelah kematiannya, kasus Munir resmi kedaluwarsa secara hukum karena masih merupakan tindak pidana biasa. Artinya, sesuai dengan KUHP Pasal 78, wewenang untuk memproses pelaku secara hukum akan digugurkan dan dalang pembunuhan Munir tetap akan menghirup udara bebas hingga akhir hayatnya. Satu-satunya cara untuk meneruskan kasus ini adalah dengan mengategorikannya sebagai pelanggaran HAM berat. Namun, nahasnya hingga kini Komnas HAM belum juga menyegerakan penetapan yang telah dijanjikan sejak Mei 2022.

Jadi, sesungguhnya how do you get away with murder? Meracuni seseorang dengan menambahkan arsenik dalam makanan atau minumannya (dengan harapan takkan meninggalkan jejak) atau menjadi pejabat negara ini yang dengan mudahnya membungkam kebenaran dengan kekuasaan?

Referensi:

  1. Emsley J. The elements of murder. 1st ed. United States: Oxford University Press; 2005.
  2. https://sites.dartmouth.edu/toxmetal/arsenic/arsenic-a-murderous-history/
  3. Barrett AA. Agrippina: Sex, power, and politics in the early empire. 1st ed. United States: Yale University Press; 1999.
  4. Paddock M. What is arsenic poisoning? [Internet]. Sussex: Medical News Today; 2018 Jan 04 [cited 2022 Aug 03]. Available from: https://www.medicalnewstoday.com/articles/241860
  5. Kuivenhoven M, Mason K. Arsenic Toxicity. [Updated 2022 Jun 21]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK541125/
  6. Agency for Toxic Substances and Disease Registry (ATSDR). Toxicological profile for Arsenic. Atlanta, GA: U.S. Department of Health and Human Services, Public Health Service; 2007.
  7. Ratnaike RN. Acute and chronic arsenic toxicity. Postgrad Med J. 2003 Jul; 79(933): 391–6.
  8. Flora G, Mittal M, Flora SJS. Medical countermeasures — chelation therapy. In: Flora SJS, editor. Handbook of Arsenic Toxicology. 1st ed. United States: Elsevier Inc.; 2015
  9. Singh AP, Goel RK, Kaur T. Mechanisms pertaining to arsenic toxicity. Toxicol Int. 2011 Jul-Dec; 18(2): 87–93.
  10. Hughes MF, Deck BD, Chen Y, Lewis AS, Thomas DJ. Arsenic exposure and toxicology: A historical perspective. Toxicol Sci. 2011 Oct; 123(2): 305–332.
  11. World Health Organization. Arsenic [Internet]. Geneva: World Health Organization; 2018 Feb 15 [cited Aug 03]. Available from: https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/arsenic#:~:text=Long%2Dterm%20exposure%20to%20arsenic,increased%20deaths%20in%20young%20adults.
  12. Gurnari C, De Bellis E, Divona M, Ottone T, Lavorgna S, Voso MT. When poisons cure: The case of arsenic in acute promyelocytic leukemia. Chemotherapy. 2019; 64: 238–47.
  13. Frith J. Arsenic — the “poison of kings” and the “saviour of syphilis”. J Mil Veterans. 2013 Dec 01: 21(4); 11–7.
  14. Mayorga J, Richardson-Hardin C, Dicke KA. Arsenic trioxide as effective therapy for relapsed acute promyelocytic leukemia. Clin J Oncol Nurs. 2002 Nov; 6(6): 341–6.
  15. Zhang P. On arsenic trioxide in the clinical treatment of acute promyelocytic leukemia. Leuk Res Rep. 2017; 7: 29–32.
  16. Editorial Team. Reminiscing about how Munir died in the air [Internet]. Jakarta: VOI; 2019 Dec 06 [cited 2022 Aug 04]. Available from: https://voi.id/en/memori/638/reminiscing-about-how-munir-died-in-the-air
  17. Idries AM. Indonesia x-files. 1st ed. Jakarta: Mizan Digital Publishing; 2013.

--

--

Kertas Putih Kastrat

Kumpulan intisari berita aktual // Ditulis oleh Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM IKM FKUI 2022 // Narahubung: Jansen(ID line: jansenjayadi)